”Dulu tidak begini. Pasien sangat minim karena takut
berobat. Mereka lebih percaya kepada dukun,’’ ujar Rosita setelah menangani
sejumlah pasien.
Pada jam-jam tertentu sebelum atau
setelah bertugas di Puskesmas Ciboleger, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten,
wanita 38 tahun itu membuka praktik di kediamannya. Ruang praktik berukuran 3 x
4 meter itu sangat sederhana. Dindingnya dipenuhi poster cara hidup sehat dan
gambar ilustrasi cuci tangan. Juga ada foto ibu hamil dan janin. Dua buah
stetoskop tergantung di salah satu sudut ruang. Di meja praktik ada beberapa
mainan anak-anak. ‘’Maaf, maklum anak saya masih kecil, jadi suka bikin kacau
di rumah,’’ canda Rosita sambil merapikan tempat praktiknya.
Rosita mulai membuka lembaran kisah
hidupnya. Dia menjelaskan bahwa suku Badui adalah kelompok masyarakat yang
menerapkan hidup bersahaja dan bertahan bersama tradisi nenek moyang mereka.
Sudah ratusan tahun mereka hidup mengasingkan diri dari modernitas dan hidup
selaras dengan keaslian alam. Jauh dari hingar-bingar modernitas, termasuk di
bidang kesehatan sekalipun. Bahkan, sejak era kemerdekaan, berkali-kali sudah
tenaga medis didatangkan dari ibu kota dan silih berganti pula mereka kembali
dengan tangan kosong karena ditolak warga suku Badui. ‘’Kondisi itu yang justru
memotivasi saya untuk bisa bekerja sesuai dengan keterampilan saya di sini,’’
kata wanita berjilbab tersebut.
Dengan misi itu, ketika menjadi
pegawai tidak tetap (PTT) kesehatan, Rosita memilih ditugaskan ke Desa Kanekes,
desa yang menaungi 59 kampung Badui, dalam dan luar.
Bidan Ros -begitu dia akrab
dipanggil- menuturkan, sebelum dirinya berhasil membuka akses pengobatan di
pedalaman, suku Badui menggunakan jasa paraji alias dukun beranak untuk proses
kelahiran. Kedatangan sejumlah tenaga medis kerap dianggap sebagai pelanggaran
terhadap tradisi leluhur yang membatasi diri dari sentuhan dengan dunia modern.
Namun, kebiasaan itu yang membuat derajat kesehatan suku Badui, terutama kaum
ibu dan anak-anak, stagnan dan cenderung menurun. Menyadarkan pentingnya
kesehatan kepada suku Badui bukan tugas mudah. ‘’Saya mulai bertugas di
posyandu pada 1997. Dari rumah, saya harus menyiapkan imunisasi, bubur kacang.
Saya ketuk dari pintu ke pintu di satu kampung. Demikian yang saya lakukan
berulang-ulang,’’ kata ibu dua anak itu.
Awalnya, Rosita kerap ditolak atau
kehadirannya tidak dihiraukan. Perlakuan seperti itu jelas membuat mental
tenaga medis biasa jatuh. Sebab, mencapai lokasi-lokasi perkampungan Badui
membutuhkan tenaga ekstra. Tenaga medis paling tidak harus berjalan kaki selama
satu hingga enam jam di jalan setapak menembus hutan dan menyeberangi sungai.
Jarak untuk sampai di titik-titik perkampungan Badui Dalam yang paling jauh
mencapai 15-20 kilometer dengan medan menanjak dan menurun.
‘’Tak terhitung puluhan kali saya
tiap malam harus menangis dan merasa kecewa dengan perlakuan itu. Tapi, di pagi
harinya, setelah salat subuh, saya selalu berdoa dan kembali menemukan semangat
lagi,’’ kenang istri Asep Kurnia itu.
Momen keberhasilan Bidan Ros
terjadi ketika ada wabah prambusia atau penyakit merah, salah satu penyakit
kulit yang menular pada 1999-2000. Ketika itu, dia memberanikan diri datang ke
Badui Dalam dan menawarkan diri untuk mengobati penyakit itu dengan suntikan
penisilin dan obat kulit. ‘’Awalnya mereka menolak karena tubuh mereka harus dimasuki
alat modern yakni jarum suntik,’’ kenangnya. Tapi, karena dalam keadaan
terjepit, setelah mendapat persetujuan pimpinan adat, mereka pun menyediakan
satu orang warga yang terkena prambusia untuk dijadikan “percobaan”.
Penyuntikan dan pengobatan pun dilakukan
di hadapan puluhan pasang mata termasuk salah satu dukun lokal. Setelah
melakukan beberapa kali pengobatan dan puluhan kilometer berjalan kaki
bolak-balik dari pedalaman ke perkampungan, akhirnya pasien itu pun sembuh.
Sejak saat itu, dari mulut ke mulut nama Bidan Ros mulai dikenal. Karena
komunitas mereka yang terbatas, informasi pun cepat sekali menyebar sampai ke
59 kampung di Badui. ‘’Dalam hal Prambusia, dukun Badui telah takluk sama
tenaga medis,’’ candanya.
Menurut Bidan Ros, orang Badui umumnya
jarang mengalami sakit berat seperti hipertensi, jantung koroner, ginjal, atau
gula. Karena itu, tidak heran bila ada orang Badui yang usianya sampai lebih
dari 100 tahun. ‘’Lebih banyak yang berobat ke saya karena penyakit-penyakit
ringan seperti penyakit kulit, batuk, atau pilek,’’
Sampai di situ, mimpi Bidan Ros
masih belum tuntas. Dia masih belum dipercaya membantu persalinan. Warga Badui,
kata dia, memiliki mitos bahwa jika plasenta alias ari-ari bayi dipotong ketika
proses persalinan, sang bayi akan mati. Selain itu, mereka juga berpersepsi
bahwa melahirkan dengan dibantu bidan akan membutuhkan biaya mahal. Untuk
mengatasinya, Bidan Ros mempraktikkan kelahiran bayi di depan para ibu Badui.
‘’Saya tunjukkan secara medis. Bahkan, ketika saya potong plasenta bayi, ada
yang protes dan menghalangi. Tapi, setelah terbukti bahwa bayi tidak mati,
mereka terheran-heran,’’ ujar dia dengan mata berkaca-kaca.
Setelah berhasil membantu
persalinan itu, dia pun menamai anak pertama yang membuka sukses “pertunjukan”
medis kepada warga pedalaman itu dengan nama suaminya. Dia mengaku kerap
terharu jika mengenang masa-masa itu. ‘’Apalagi kalau sekarang ketemu dengan
anak itu, saya selalu ingat kisah perjuangan saya,’’.
Namun, hingga kini, dia belum
berhasil menangani persalinan warga Badui Dalam. Bukan karena warga tidak mau,
tapi terutama karena medan yang berat. Ketika dia masih di perjalanan, sang ibu
keburu melahirkan. Pernah suatu saat, ketika dia baru berjalan tiga jam (dari
enam jam yang dibutuhkan), jabang bayi yang akan ditolong sudah keluar.
Dalam menjalankan profesinya,
Rosita bekerja dengan ikhlas, tanpa pamrih. Betapa tidak, untuk sekali
persalinan, dia rela walau hanya dibayar Rp20 ribu. Bahkan, jika ada yang
mengaku tidak mampu, dia siap tidak dibayar. ‘’Saya masih tetap ingat pesan
orangtua, yakni ketika bertugas di mana pun harus tulus dan ikhlas. Insya
Allah, rezeki tidak akan ke mana,’’ ungkapnya.
http://poesimut.blogspot.com/2010/06/perjuangan-seorang-bidan-desa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar