Selasa, 18 Maret 2014

Makalah KESETARAAN GENDER



KESETARAAN GENDER DAN PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR


A.      PENGERTIAN KESETARAAN

Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut kesederajatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan (kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yan sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain.
Dihadapan Tuhan, semua manusia adalah sama derajat, kedudukan, atau tingkatannya. Yang membedakan nantinya adalah tingkat ketakwaan manusia tersebut terhadap Tuhan.
Persamaan atau tingkatan manusia ini berimplikasi pada adanya pengakuan akan kesetaraan atau kesederajatan manusia. Jadi, kesetaraan atau kesederajatan tidak sekedar bermakna adanya persamaan kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu sikap mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban sebagai sesama manusia. Implikasi selanjutnya adalah perlunya jaminan akan hak-hak itu agar setiap manusia bisa merealisasikan serta perlunya merumuskan sejumlah kewajiban-kewajiban agar semua bisa melaksanakan agar tercipta tertib kehidupan.
Berkaitan dengan dua konsep di atas, maka dalam keragaman diperlukan adanya kesetaraan atau kesederajatan. Artinya, meskipun individu maupun masyarakat adalah beragam dan berbeda-beda, tetapi mereka memiliki dan diakui akan kedudukan, hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai sesama baik dalam kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan. Terlebih lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jaminan atau kedudukan, hak  dan kewajiban yang sama dari berbagai ragam masyarakat di dalamnya amat diperlukan.

B.     PENGERTIAN GENDER

Kata gender berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”.
Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah “suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.
“Gender merujuk pada peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat dan budaya”(UNESCO, 2007).
Begitu pula pemahaman konsep gender menurut HT.Wilson (1998) yang memandang gender sebagai “suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan”.
Seiring dengan pengertian Gender menurut Yanti Muhtar (2002), bahwa Gender dapat diartikan sebagai “jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin”.
Sementara Mansour Fakih (2008:8) mendefinisikan gender sebagai “suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural”.
Dari beberapa definisi tentang gender yang telah diungkapkan diatas dapat dikatakan bahwa gender merupakan jenis kelamin sosial, yang berbeda dengan jenis kelamin biologis. Dikatakan sebagai jenis kelamin sosial karena merupakan tuntutan masyarakat yang sudah menjadi budaya dan norma sosial masyarakat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan dan membedakan antara peran jenis kelamin laki–laki dan perempuan.

C.    PENGERTIAN KESETARAAN GENDER

Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku.  Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan (Unesco, 2002).
Kesetaraan gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin seseorang dalam memperoleh kesempatan dan alokasi sumber daya, manfaat atau dalam mengakses pelayanan.  
Berbeda halnya dengan keadilan gender merupakan  keadilan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan antara jenis kelamin. Masalah gender muncul bila ditemukan perbedaan hak, peran dan tanggung jawab karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).
Untuk itu perlu dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang tidak menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah kesehatan reproduksi yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat dihindari, khususnya kematian ibu dan anak yang masih tinggi di Indonesia.
Pembahasan dalam topik isu gender ini dimaksudkan untuk memberikan informasi sehingga dapat mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan sosial, budaya, kondisi dan situasi di wilayah setempat untuk megatasi masalah kesehatan reproduksi remaja. 

D.    DISKRIMINASI
Diskriminasi termasuk pembedaan berdasar pada ras, etnis, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, aliran politik, disabilitas atau HIV/AIDS yang mengakibatkan perlakuan yang tidak sama.
Ada diskriminasi yang langsung dan yang tidak langsung. Bukan hanya perlakuan yang sengaja. Diskriminasi yang tidak langsung adalah praktek-praktek yang tampak netral tetapi menghasilkan perlakuan yang tidak sama terhadap seseorang dengan karakteristik tertentu.
Pelecehan dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi jika didasarkan pada ciri atau sifat yang diskriminatif.
Contoh: Selama proses penerimaan pegawai baru, manajemen sebaiknya tidak bertanya pertanyaan pribadi yang tidak relevan kepada pelamar, seperti menanyakan asal usul dirinya beserta keluarga, agama yang dianut, status pernikahan, status kehamilan, ataupun menanyakan apakah telah memiliki anak. Meskipun informasi hanya sekedar ditanyakan sebagian dari perbincangan saat wawancara dan tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan orang-orang dengan karakteristik tertentu, namun akan memberikan kesan terdapat diskriminasi pada hal-hal tertentu kepada calon pegawai, maka dari itu tidaklah pantas dilakukan.

E.       STUDI KASUS

Kiai Masyhurat Lebih Hebat dari Syekh Puji, 5 Istri Dinikahi di Bawah Umur
LENTENG, SUMENEP. Pujiono Cahyo Widianto atau Syekh Puji yang namanya mencuat belakangan ini akibat menikahi bocah di bawah umur tampaknya bukan apa-apa bagi Masyhurat Usman, seorang kiai tenar di Kabupaten Sumenep,
Pulau Madura. Jika Syekh Puji (pemilik Ponpes Miftakhul Jannah, Semarang) menikahi seorang saja bocah putri di bawah umur, KH Masyhurat memiliki lima istri yang dinikahinya saat mereka masih di bawah umur. Total jumlah istri KH Masyhurat yang kini berusia 57 tahun itu sebanyak 10 orang.
Kemarin Surya mengunjungi kediaman KH Masyhurat di Dusun Tarebung, Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Surya ditemui oleh santri kepercayaannya, Mujiburrahman (yang dipanggil Jibur), dan seorang istri KH Masyhurat karena kebetulan sang kiai sedang pergi ke luar kota.
Menurut Jibur, dari 10 istri KH Masyhurat Usman, lima di antaranya dipersunting saat para perempuan itu masih berumur antara 12 dan 17 tahun. Sebagian besar orangtua perempuan yang dipinang oleh KH Masyhurat itu ikhlas dan merelakan anaknya dikawini sang kiai.
“Bukan hanya orangtua yang menerima dan ikhlas memiliki menantu Abah Masyhurat, anak-anak perempuan itu pun senang hati menerima pinangan Abah,” tandas Jibur, Kamis (30/10/08).
Menurut Jibur, yang dinikahi KH Masyhurat saat masih di bawah umur adalah Ernawati (ketika kelas VI SD), Hindun (dikawini tatkala kelas 1 SMP), Maskiyah ketika masih 15 tahun, Sahama dinikahi saat kelas IV madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) dalam usia 10 tahun, dan Linda Yusniah dinikahi saat belum genap 17 tahun.
Menurut Jibur, pernikahan kiai kharismatik itu untuk membantu mereka yang lemah, baik dalam agama maupun dalam kehidupan ekonomi.
Setelah dinikahi KH Masyhurat, para istri di bawah umur itu sudah naik haji semua. Dari 10 istri kiai itu, tinggal seorang yang belum bergelar hajah.
“Pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA menjadi salah satu rujukannya. Dan, dibolehkan mengawini perempuan yang sudah haid karena sudah dianggap akil balik. Bahkan, belum haid sekalipun dapat dinikahkan, asal tidak boleh digauli dulu sebelum haid,” kata Jibur.
Namun, saat ditanya apakah setelah perkawinan itu para istri di bawah umur tersebut langsung digauli oleh KH Masyhurat, Jibur mengaku tidak tahu secara pasti. Cuma dia melihat, istri-istri sang kiai yang dikawini dalam usia dini tersebut tidak langsung punya anak sampai bertahun-tahun. Kini para istri KH Masyhurat yang dinikahi saat masih di bawah umur itu, berusia rata-rata 25 tahun.
“Kiai kan pasti tahu bagaimana memperlakukan istri yang masih di bawah umur karena ilmu kiai kan sudah tinggi. Tidak mungkin beliau mengeksploitasi anak-anak,” kata Jibur.
Komentar Jibur juga dibenarkan Hajah Maskiyah, istri kelima KH Masyhurat. Menurut Hajah Maskiyah, perkawinan di bawah umur tidak perlu diperdebatkan. Yang penting orangtua dan anak yang akan dinikahkan setuju dan sudah dinyatakan akil balik atau setidaknya sudah mengalami haid.
“Yang sangat penting, sang suami bertanggung jawab menafkahi istrinya, baik secara lahir maupun batin,” ujar Hajah Maskiyah yang saat dikawini KH Masyhurat berumur 15 tahun.
Hajah Maskiyah menambahkan, istri-istri KH Masyhurat yang berjumlah 10 orang sebagian besar dinikahi sebelum usia mereka 20 tahun. Bahkan, salah satu istri KH Masyhurat, yakni Hajah Sahama, dikawin saat dia masih duduk di kelas IV madrasah ibtidaiyah dan berumur sekitar 10 tahun.
“Tak satu pun di antara kami mengeluhkan adanya masalah baik lahir maupun batin. Kami semua kini hidup rukun dan tenang dalam satu kompleks rumah laksana saudara,” tutur Hajah Maskiyah dengan bangga.
Namun, ada juga istri KH Masyhurat yang sudah tua saat dinikahi, yaitu istri terakhir KH Masyhurat, yakni Hajah Zubaidah yang dikawin sewaktu dia telah berumur 45 tahun. “Jadi, kiai kawin bukan karena nafsu, melainkan ibadah dan dakwah,” ucap Hajah Maskiyah.
Saat ditemui Surya beberapa waktu lalu, KH Masyhurat mengatakan bahwa perkawinan merupakan urusan pribadi atau hak azasi tiap-tiap individu. Bagi dirinya, poligami (perkawinan dengan banyak istri) itu demi mengikuti sunah rasul sepanjang memiliki kemampuan secara ekonomi dan bisa berbuat adil, baik lahir maupun batin, kepada para istri.
KH Masyurat menegaskan, dirinya melakukan pernikahan dengan motif ibadah, bahkan demi kepentingan penyebaran (syiar) agama Islam, bukan karena dorongan nafsu birahi.
“Intinya untuk menyebarkan agama, yakni Islam. Salah cara untuk menyebarkan agama Islam dengan cara memperbanyak keturunan,” tutur KH Masyhurat yang kini memiliki 24 orang anak.

F.       PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR

Mengingat masih tingginya “4 T” (Terlalu Muda, Terlalu tua, Terlalu Banyak, Terlalu Sering untuk hamil dan bersalin) yang berhubungan dengan penyebab kematian ibu dan anak kondisi ini sesungguhnya dapat dicegah dan tidak terjadi kematian yang sia-sia. Selain itu masalah kesehatan lainnya seperti penularan dan penyebaran HIV/AIDS.
Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa akhirnya.
Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.         Kehamilan tidak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya
b.         Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi
c.         Masalah Penyakit Menular Seksual termasuk infeksi HIV/AIDS
d.        Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial.
Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko kematian ibu dan bayi 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibanding kehamilan pada ibu berusia 20 – 35 tahun.
Pusat penelitian Kesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung ( 1997), menunjukkan bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah melakukan hubungan seksual.
Survei Depkes (1995/1996) pada remaja usia 13 - 19 tahun di Jawa barat (1189) dan di Bali (922) mendapatkan 7% dan 5 % remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengaku pernah terlambat haid atau hamil.
Di Yogyakarta, menurut data sekunder tahun 1996/1997, dari 10.981 pengunjung klinik KB ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah melakukan tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara tidak aman. Sekitar 2% diantaranya berusia kurang dari 22 tahun. Dari data PKBI sumbar tahun 1997 ditemukan bahwa remaja yang telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama kali pada usia antara 15 – 18 tahun.
Masih banyak isu gender lainnya yang terkait dengan kesehatan reproduksi remaja,  diantaranya sunat pada perempuan, kekerasan terhadap perempuan/dalam rumah tangga, perlecehan seksual/pemerkosaan, perdagangan manusia/perempuan, pernikahan di bawah umur dan sebagainya.
Makalah ini akan membahas mengenai fakta perempuan sebagai korban ketidaksetaraan gender dari kasus yang diangkat adalah pernikahan di bawah umur.
Padahal, perkara nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Sebabnyapun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by accident) dan lain sebagainya. Selain menimbulkan masalah sosial, nikah di bawah umur bisa menimbulkan masalah hukum. 
Pernikahan Kiai Masyhurat menikahi 5 Istri di bawah umur membuka ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum nasional dan hukum internasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.

Hukum Perkawinan

Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2).
Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun 
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 memuat perihal yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten.
Namun demikian perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI) .
KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (vide pasal 71).
Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
1.      Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
2.      Suami atau isteri
3.      Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang
4.      Para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangan-undangan (vide pasal 73).
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.  Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa: Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Sama halnya dengan hukum adat.  Hukum adat Indonesia, yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya.  Dan ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.

Instrumen HAM

Instrumen Hak Asasi Manusia, baik yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.
Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1964 tersebut, namun telah menetapkan usia minimum pernikahan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alias sepuluh tahun setelah Konvensi tersebut lahir.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a.       Non diskriminasi
b.      Kepentingan yang terbaik bagi anak
c.       Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
d.      Penghargaan terhadap pendapat anak.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (vide pasal 3).
Terkait pernikahan di bawah umur, pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : (c ) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Kriminalisasi Nikah di Bawah Umur

Merujuk pada hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan di Indonesia harus memenuhi ketentuan batas usia minimum. Yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran terhadapnya tidak serta merta dapat ditindak. Begitu banyak terjadi perkawinan di bawah umur, dan tak pernah ataupun minim terdengar ada kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, kendati pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.  
Perkawinan adalah masalah perdata. Kalaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, seringkali penyelesaiannya secara perdata atau tidak diselesaikan sama sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya tidak melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib keluarga, atau kesulitan dalam menghadirkan alat bukti.
Langkah paling maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju pernikahan di bawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi, perlu ada keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat pengawas perkawinan. Apabila pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan maka tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahannya di hadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA atau Kantor  Catatan  Sipil). Otomatis pernikahan yang tidak tercatat di lembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan.
Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan.
Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti surat nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.

Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Perkawinan

Pernikahan Kiai Masyhurat yang menikahi 5 Istri di bawah umur seperti menampar wajah pembuat hukum dan aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini sebenarnya bukan yang pertama dan bukan juga yang terakhir.  Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka dari ribuan kasus lainnya yang mengendap di bawah permukaan laksana gunung es.  
Praktik nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan Indonesia nyaris seperti hukum yang tak bergigi, karena begitu banyak terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.
Tidak hanya masalah nikah di bawah umur. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan juga terjadi pada kasus pernikahan poligami, pernikahan di bawah tangan, perceraian di bawah tangan, pelanggaran hak-hak mantan isteri, mantan suami ataupun anak-anak dalam perceraian, dan lain-lain. 
Begitu banyak terjadi pernikahan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan agama dan tanpa memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif seperti yang ditetapkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Begitu banyak terjadi perceraian yang terjadi di luar pengadilan (perceraian di bawah tangan). Begitu banyak hak-hak mantan isteri dan anak-anak yang diabaikan ketika terjadi perceraian. Dan begitu banyak pula terjadi perkawinan yang berlangsung tanpa tercatat di kantor pencatat nikah (apakah Kantor Urusan Agama ataupun Kantor Catatan Sipil) alias lazim disebut perkawinan di bawah tangan.
Memang, urusan perkawinan adalah urusan keperdataan. Urusan pribadi warganegara. Hal mana membuat banyak pihak mempertanyakan, kenapa masalah perkawinan harus diatur oleh negara, bukankah perkawinan berada dalam ranah privat?
Urusan perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan.  Namun peristiwa tersebut adalah peristiwa hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan hak-hak kewajiban para pihak. Maka, pengaturan dari negara tetap perlu. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah mencoba mengatur dengan meng-unifikasi hukum perkawinan. Hukum agama dan hukum adat diakomodasi dalam UU tersebut, disamping hukum perdata Barat. Dan sungguh ini bukan perkara yang gampang, karena selamanya unifikasi di wilayah hukum pribadi dan hukum keluarga adalah sesuatu yang sulit. Indonesia adalah negara yang kaya dengan pluralitas hukum dan pluralitas sosial budaya.  
Apabila perkawinan tidak diatur oleh negara akan berpotensi lahirnya ketidakadilan bagi pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan. Dan akhirnya akan merembet pada keluarga luas, lingkungan, masyarakat, hingga akhirnya menjadi problem negara juga. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 lahir antara lain karena maraknya fenomena kekerasan dalam perkawinan.
Namun apabila negara mengatur terlalu banyak, dapat juga berpotensi pemaksaan hukum dan sentralisasi hukum negara. Perlu ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan, mana masalah perkawinanan yang perlu diatur hukum negara dan mana yang tidak. Untuk tidak mencederai hak-hak sipil warganegara dalam wilayah perkawinan yang tak perlu dikelola oleh negara.
Dan inilah tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum perkawinan yang menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap melahirkan keadilan?  Kemudian,  mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengharmoniskan perbedaan klausul di berbagai sistem hukum perkawinan terkait dengan masalah-masalah perkawinan kontemporer?
Merevisi UU No. 1 Tahun 1974 adalah satu alternatif dan tidaklah terlalu ambisius. Namun juga bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi dan lahirnya legislasi yang dapat mengakomodasi semua sistem hukum yang hidup tanpa harus mencederai hak-hak sipil masyarakat dalam wilayah hukum perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar