KESETARAAN GENDER DAN PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR
A.
PENGERTIAN KESETARAAN
Kesetaraan berasal dari kata setara
atau sederajat. Jadi, kesetaraan juga dapat disebut kesederajatan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sederajat artinya sama tingkatan
(kedudukan, pangkat). Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan
menunjukkan adanya tingkatan yan sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi
atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.
Kesetaraan manusia bermakna bahwa
manusia sebagai mahkluk Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang sama.
Tingkatan atau kedudukan yang sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua
manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu
sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain.
Dihadapan Tuhan, semua manusia
adalah sama derajat, kedudukan, atau tingkatannya. Yang membedakan nantinya
adalah tingkat ketakwaan manusia tersebut terhadap Tuhan.
Persamaan atau tingkatan manusia ini
berimplikasi pada adanya pengakuan akan kesetaraan atau kesederajatan manusia.
Jadi, kesetaraan atau kesederajatan tidak sekedar bermakna adanya persamaan
kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu sikap mengakui adanya persamaan
derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban sebagai sesama manusia.
Implikasi selanjutnya adalah perlunya jaminan akan hak-hak itu agar setiap manusia
bisa merealisasikan serta perlunya merumuskan sejumlah kewajiban-kewajiban agar
semua bisa melaksanakan agar tercipta tertib kehidupan.
Berkaitan dengan dua konsep di atas,
maka dalam keragaman diperlukan adanya kesetaraan atau kesederajatan. Artinya,
meskipun individu maupun masyarakat adalah beragam dan berbeda-beda, tetapi
mereka memiliki dan diakui akan kedudukan, hak-hak dan kewajiban yang sama
sebagai sesama baik dalam kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan. Terlebih
lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jaminan atau kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dari berbagai ragam
masyarakat di dalamnya amat diperlukan.
B.
PENGERTIAN GENDER
Kata gender berasal dari bahasa Inggris,
berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai
“perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku”.
Sedangkan
dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah “suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat”.
“Gender
merujuk pada peranan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan
dalam keluarga, masyarakat dan budaya”(UNESCO, 2007).
Begitu pula
pemahaman konsep gender menurut HT.Wilson (1998) yang memandang
gender
sebagai “suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan
perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka
menjadi laki-laki dan perempuan”.
Seiring
dengan pengertian Gender menurut Yanti Muhtar (2002), bahwa Gender dapat
diartikan sebagai “jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin”.
Sementara
Mansour Fakih (2008:8) mendefinisikan gender sebagai “suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural”.
Dari beberapa
definisi tentang gender yang telah diungkapkan diatas dapat dikatakan bahwa
gender merupakan jenis kelamin sosial, yang berbeda dengan jenis kelamin
biologis. Dikatakan sebagai jenis kelamin sosial karena merupakan tuntutan
masyarakat yang sudah menjadi budaya dan norma sosial masyarakat yang melekat
pada kaum laki-laki dan perempuan dan membedakan antara peran jenis kelamin
laki–laki dan perempuan.
C.
PENGERTIAN KESETARAAN GENDER
Kesetaraan gender adalah suatu
kondisi dimana semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas
mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa
dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku. Hal ini bukan berarti
bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan
kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki
atau perempuan (Unesco, 2002).
Kesetaraan
gender adalah tidak adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
seseorang dalam memperoleh kesempatan dan alokasi sumber daya, manfaat atau
dalam mengakses pelayanan.
Berbeda halnya
dengan keadilan gender merupakan keadilan pendistribusian
manfaat dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Konsep yang mengenali
adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, yang
harus diidentifikasi dan diatasi dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan
antara jenis kelamin. Masalah gender muncul bila ditemukan perbedaan hak,
peran dan tanggung jawab karena adanya nilai-nilai sosial budaya yang
tidak menguntungkan salah satu jenis kelamin (lazimnya perempuan).
Untuk itu perlu
dilakukan rekontruksi sosial sehingga nilai-nilai sosial budaya yang tidak
menguntungkan tersebut dapat dihilangkan. Sehingga masalah kesehatan reproduksi
yang erat kaitannya dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dapat
dihindari, khususnya kematian ibu dan anak yang masih tinggi di Indonesia.
Pembahasan dalam
topik isu gender ini dimaksudkan untuk memberikan informasi sehingga dapat
mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif yang disesuaikan dengan sosial,
budaya, kondisi dan situasi di wilayah setempat untuk megatasi masalah
kesehatan reproduksi remaja.
D.
DISKRIMINASI
Diskriminasi termasuk pembedaan
berdasar pada ras, etnis, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, agama,
aliran politik, disabilitas atau HIV/AIDS yang mengakibatkan perlakuan yang
tidak sama.
Ada diskriminasi yang langsung
dan yang tidak langsung. Bukan hanya perlakuan yang sengaja. Diskriminasi yang
tidak langsung adalah praktek-praktek yang tampak netral tetapi menghasilkan
perlakuan yang tidak sama terhadap seseorang dengan karakteristik tertentu.
Pelecehan dapat dianggap sebagai
bentuk diskriminasi jika didasarkan pada ciri atau sifat yang diskriminatif.
Contoh: Selama
proses penerimaan pegawai baru, manajemen sebaiknya tidak bertanya pertanyaan
pribadi yang tidak relevan kepada pelamar, seperti menanyakan asal usul dirinya
beserta keluarga, agama yang dianut, status pernikahan, status kehamilan,
ataupun menanyakan apakah telah memiliki anak. Meskipun informasi hanya sekedar
ditanyakan sebagian dari perbincangan saat wawancara dan tidak dimaksudkan
untuk mendiskriminasikan orang-orang dengan karakteristik tertentu, namun akan
memberikan kesan terdapat diskriminasi pada hal-hal tertentu kepada calon
pegawai, maka dari itu tidaklah pantas dilakukan.
E.
STUDI KASUS
Kiai Masyhurat Lebih Hebat dari Syekh Puji, 5
Istri Dinikahi di Bawah Umur
LENTENG, SUMENEP. Pujiono Cahyo Widianto atau
Syekh Puji yang namanya mencuat belakangan ini akibat menikahi bocah di bawah
umur tampaknya bukan apa-apa bagi Masyhurat Usman, seorang kiai tenar di
Kabupaten Sumenep,
Pulau Madura. Jika Syekh Puji (pemilik Ponpes
Miftakhul Jannah, Semarang) menikahi seorang saja bocah putri di bawah umur, KH
Masyhurat memiliki lima istri yang dinikahinya saat mereka masih di bawah umur.
Total jumlah istri KH Masyhurat yang kini berusia 57 tahun itu sebanyak 10
orang.
Kemarin Surya mengunjungi kediaman KH Masyhurat
di Dusun Tarebung, Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Surya
ditemui oleh santri kepercayaannya, Mujiburrahman (yang dipanggil Jibur), dan
seorang istri KH Masyhurat karena kebetulan sang kiai sedang pergi ke luar
kota.
Menurut Jibur, dari 10 istri KH Masyhurat Usman,
lima di antaranya dipersunting saat para perempuan itu masih berumur antara 12
dan 17 tahun. Sebagian besar orangtua perempuan yang dipinang oleh KH Masyhurat
itu ikhlas dan merelakan anaknya dikawini sang kiai.
“Bukan hanya orangtua yang menerima dan ikhlas
memiliki menantu Abah Masyhurat, anak-anak perempuan itu pun senang hati
menerima pinangan Abah,” tandas Jibur, Kamis (30/10/08).
Menurut Jibur, yang dinikahi KH Masyhurat saat
masih di bawah umur adalah Ernawati (ketika kelas VI SD), Hindun (dikawini
tatkala kelas 1 SMP), Maskiyah ketika masih 15 tahun, Sahama dinikahi saat
kelas IV madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) dalam usia 10 tahun, dan Linda
Yusniah dinikahi saat belum genap 17 tahun.
Menurut Jibur, pernikahan kiai kharismatik itu
untuk membantu mereka yang lemah, baik dalam agama maupun dalam kehidupan
ekonomi.
Setelah dinikahi KH Masyhurat, para istri di
bawah umur itu sudah naik haji semua. Dari 10 istri kiai itu, tinggal seorang
yang belum bergelar hajah.
“Pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA
menjadi salah satu rujukannya. Dan, dibolehkan mengawini perempuan yang sudah
haid karena sudah dianggap akil balik. Bahkan, belum haid sekalipun dapat
dinikahkan, asal tidak boleh digauli dulu sebelum haid,” kata Jibur.
Namun, saat ditanya apakah setelah perkawinan itu
para istri di bawah umur tersebut langsung digauli oleh KH Masyhurat, Jibur
mengaku tidak tahu secara pasti. Cuma dia melihat, istri-istri sang kiai yang
dikawini dalam usia dini tersebut tidak langsung punya anak sampai
bertahun-tahun. Kini para istri KH Masyhurat yang dinikahi saat masih di bawah
umur itu, berusia rata-rata 25 tahun.
“Kiai kan pasti tahu bagaimana memperlakukan
istri yang masih di bawah umur karena ilmu kiai kan sudah tinggi. Tidak mungkin
beliau mengeksploitasi anak-anak,” kata Jibur.
Komentar Jibur juga dibenarkan Hajah Maskiyah,
istri kelima KH Masyhurat. Menurut Hajah Maskiyah, perkawinan di bawah umur
tidak perlu diperdebatkan. Yang penting orangtua dan anak yang akan dinikahkan
setuju dan sudah dinyatakan akil balik atau setidaknya sudah mengalami haid.
“Yang sangat penting, sang suami bertanggung
jawab menafkahi istrinya, baik secara lahir maupun batin,” ujar Hajah Maskiyah
yang saat dikawini KH Masyhurat berumur 15 tahun.
Hajah Maskiyah menambahkan, istri-istri KH
Masyhurat yang berjumlah 10 orang sebagian besar dinikahi sebelum usia mereka
20 tahun. Bahkan, salah satu istri KH Masyhurat, yakni Hajah Sahama, dikawin
saat dia masih duduk di kelas IV madrasah ibtidaiyah dan berumur sekitar 10 tahun.
“Tak satu pun di antara kami mengeluhkan adanya
masalah baik lahir maupun batin. Kami semua kini hidup rukun dan tenang dalam
satu kompleks rumah laksana saudara,” tutur Hajah Maskiyah dengan bangga.
Namun, ada juga istri KH Masyhurat yang sudah tua
saat dinikahi, yaitu istri terakhir KH Masyhurat, yakni Hajah Zubaidah yang
dikawin sewaktu dia telah berumur 45 tahun. “Jadi, kiai kawin bukan karena
nafsu, melainkan ibadah dan dakwah,” ucap Hajah Maskiyah.
Saat ditemui Surya beberapa waktu lalu, KH
Masyhurat mengatakan bahwa perkawinan merupakan urusan pribadi atau hak azasi
tiap-tiap individu. Bagi dirinya, poligami (perkawinan dengan banyak istri) itu
demi mengikuti sunah rasul sepanjang memiliki kemampuan secara ekonomi dan bisa
berbuat adil, baik lahir maupun batin, kepada para istri.
KH Masyurat menegaskan, dirinya melakukan
pernikahan dengan motif ibadah, bahkan demi kepentingan penyebaran (syiar)
agama Islam, bukan karena dorongan nafsu birahi.
“Intinya untuk menyebarkan agama, yakni Islam.
Salah cara untuk menyebarkan agama Islam dengan cara memperbanyak keturunan,”
tutur KH Masyhurat yang kini memiliki 24 orang anak.
F.
PERNIKAHAN DI BAWAH
UMUR
Mengingat masih
tingginya “4 T” (Terlalu Muda, Terlalu tua, Terlalu Banyak, Terlalu
Sering untuk hamil dan bersalin) yang berhubungan dengan penyebab kematian
ibu dan anak kondisi ini sesungguhnya dapat dicegah dan tidak terjadi
kematian yang sia-sia. Selain itu masalah kesehatan lainnya seperti penularan
dan penyebaran HIV/AIDS.
Masalah
kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat
berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan
kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak
hanya berpengaruh terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa akhirnya.
Permasalahan
prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Kehamilan tidak dikehendaki, yang
seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan komplikasinya
b.
Kehamilan dan persalinan usia muda
yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi
c.
Masalah Penyakit Menular Seksual
termasuk infeksi HIV/AIDS
d.
Tindak kekerasan seksual, seperti
pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks komersial.
Kehamilan remaja
kurang dari 20 tahun menyumbangkan risiko kematian ibu dan bayi 2 hingga 4 kali
lebih tinggi dibanding kehamilan pada ibu berusia 20 – 35 tahun.
Pusat penelitian
Kesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung ( 1997), menunjukkan
bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah
melakukan hubungan seksual.
Survei Depkes
(1995/1996) pada remaja usia 13 - 19 tahun di Jawa barat (1189) dan di Bali
(922) mendapatkan 7% dan 5 % remaja putri di Jawa Barat dan Bali mengaku
pernah terlambat haid atau hamil.
Di Yogyakarta,
menurut data sekunder tahun 1996/1997, dari 10.981 pengunjung klinik KB
ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan yang tidak dikehendaki dan telah
melakukan tindakan pengguguran yang disengaja sendiri secara tidak aman.
Sekitar 2% diantaranya berusia kurang dari 22 tahun. Dari data PKBI sumbar
tahun 1997 ditemukan bahwa remaja yang telah melakukan hubungan seksual sebelum
menikah mengakui kebanyakan melakukannya pertama kali pada usia antara 15 – 18
tahun.
Masih banyak isu
gender lainnya yang terkait dengan kesehatan reproduksi remaja,
diantaranya sunat pada perempuan, kekerasan terhadap perempuan/dalam
rumah tangga, perlecehan seksual/pemerkosaan, perdagangan manusia/perempuan,
pernikahan di bawah umur dan sebagainya.
Makalah ini akan
membahas mengenai fakta perempuan sebagai korban ketidaksetaraan gender dari
kasus yang diangkat adalah pernikahan di bawah umur.
Padahal,
perkara nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktek ini sudah lama terjadi
dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman.
Sebabnyapun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman
budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan
atau populer dengan istilah married by
accident) dan lain sebagainya. Selain menimbulkan masalah sosial, nikah di
bawah umur bisa menimbulkan masalah hukum.
Pernikahan Kiai Masyhurat menikahi
5 Istri di bawah umur membuka ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur
ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum Islam, serta hukum
nasional dan hukum internasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal dua masalah
hukum. Pertama, harmoninasi hukum
antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan
terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di
bawah umur.
Hukum Perkawinan
Pasal 7
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Namun
penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi ketika ada dispensasi
yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita (vide pasal 7 ayat 2).
Undang-Undang yang sama menyebutkan
bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai dan
izin dari orangua diharuskan bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 memuat perihal yang kurang lebih
sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti
pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Maka, secara eksplisit tidak
tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya
dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang
berkompeten.
Namun demikian perkawinan di bawah
umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan
perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam
perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami, serta pejabat
yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI) .
KHI juga menyebutkan perkawinan
dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (vide pasal 71).
Para pihak yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah:
1. Para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
2. Suami atau isteri
3. Pejabat yang berwenang mengawasi
pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang
4. Para pihak berkepentingan yang
mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam
dan peraturan perundangan-undangan (vide pasal 73).
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an
dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk
menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal
sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan
persetujuannya untuk menikah. Pasal 16
KHI menyebutkan bahwa: Perkawinan
didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai
wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau
isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang
tegas.
Sama halnya dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia, yang berbeda dari satu
wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak
mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya
seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau peristiwa
tertentu dalam kehidupannya. Dan ini
seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.
Instrumen HAM
Instrumen Hak
Asasi Manusia, baik yang bersifat internasional (international human rights
law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI tidak menyebutkan
secara eksplisit tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990
yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan
usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah
mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi
dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka
kepentingan terbaik bagi anak (the best
interest of the child).
Konvensi tentang Kesepakatan untuk
Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and
Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk
mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang
dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum,
terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan
yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.
Indonesia belum menjadi negara pihak
dari Konvensi 1964 tersebut, namun telah menetapkan usia minimum pernikahan
melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alias sepuluh tahun setelah
Konvensi tersebut lahir.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia
minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di
bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan
Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a. Non diskriminasi
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup
dan perkembangan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (vide pasal 3).
Terkait pernikahan di bawah umur,
pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk : (c ) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Kriminalisasi Nikah di Bawah Umur
Merujuk pada
hukum perkawinan Islam Indonesia, sudah nyata bahwa perkawinan di Indonesia
harus memenuhi ketentuan batas usia minimum. Yaitu 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita. Kendati demikian, pelanggaran terhadapnya tidak serta merta
dapat ditindak. Begitu banyak terjadi perkawinan di bawah umur, dan tak pernah
ataupun minim terdengar ada kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, kendati
pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang
siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk
dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun, Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara
paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Perkawinan
adalah masalah perdata. Kalaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan seperti
disebut pasal 288 KUHP, seringkali penyelesaiannya secara perdata atau tidak
diselesaikan sama sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan
rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya tidak melaporkan
kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib keluarga, atau kesulitan
dalam menghadirkan alat bukti.
Langkah paling
maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju pernikahan di bawah umur adalah
dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi,
perlu ada keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat
pengawas perkawinan. Apabila pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan
maka tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan
pernikahannya di hadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA atau Kantor Catatan
Sipil). Otomatis pernikahan yang tidak tercatat di lembaga pencatat
nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, kendati barangkali dapat
disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan.
Pasal 20 dan 21
UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai
pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari
ketentuan batas umur minimum pernikahan.
Namun
perkawinan yang tak dicatatkan juga bukan tanpa resiko. Yang mengalami
kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena,
apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti surat nikah, maka ia
akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah
perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.
Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Perkawinan
Pernikahan Kiai Masyhurat yang menikahi 5 Istri di bawah
umur
seperti
menampar wajah pembuat hukum dan aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini
sebenarnya bukan yang pertama dan bukan juga yang terakhir. Kasus ini hanyalah satu kasus yang mengemuka
dari ribuan kasus lainnya yang mengendap di bawah permukaan laksana gunung es.
Praktik nikah
di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan Indonesia nyaris
seperti hukum yang tak bergigi, karena begitu banyak terjadi pelanggaran
terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.
Tidak hanya
masalah nikah di bawah umur. Pelanggaran terhadap hukum perkawinan juga terjadi
pada kasus pernikahan poligami, pernikahan di bawah tangan, perceraian di bawah
tangan, pelanggaran hak-hak mantan isteri, mantan suami ataupun anak-anak dalam
perceraian, dan lain-lain.
Begitu banyak
terjadi pernikahan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan agama dan
tanpa memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif seperti yang ditetapkan
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Begitu banyak terjadi perceraian yang
terjadi di luar pengadilan (perceraian di bawah tangan). Begitu banyak hak-hak
mantan isteri dan anak-anak yang diabaikan ketika terjadi perceraian. Dan
begitu banyak pula terjadi perkawinan yang berlangsung tanpa tercatat di kantor
pencatat nikah (apakah Kantor Urusan Agama ataupun Kantor Catatan Sipil) alias
lazim disebut perkawinan di bawah tangan.
Memang, urusan
perkawinan adalah urusan keperdataan. Urusan pribadi warganegara. Hal mana
membuat banyak pihak mempertanyakan, kenapa masalah perkawinan harus diatur
oleh negara, bukankah perkawinan berada dalam ranah privat?
Urusan
perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan. Namun peristiwa tersebut adalah peristiwa
hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan hak-hak kewajiban para pihak.
Maka, pengaturan dari negara tetap perlu. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah
mencoba mengatur dengan meng-unifikasi hukum perkawinan. Hukum agama dan hukum
adat diakomodasi dalam UU tersebut, disamping hukum perdata Barat. Dan sungguh
ini bukan perkara yang gampang, karena selamanya unifikasi di wilayah hukum
pribadi dan hukum keluarga adalah sesuatu yang sulit. Indonesia adalah negara
yang kaya dengan pluralitas hukum dan pluralitas sosial budaya.
Apabila
perkawinan tidak diatur oleh negara akan berpotensi lahirnya ketidakadilan bagi
pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan.
Dan akhirnya akan merembet pada keluarga luas, lingkungan, masyarakat, hingga
akhirnya menjadi problem negara juga. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 lahir antara lain karena maraknya fenomena
kekerasan dalam perkawinan.
Namun apabila
negara mengatur terlalu banyak, dapat juga berpotensi pemaksaan hukum dan
sentralisasi hukum negara. Perlu ditetapkan melalui peraturan
perundang-undangan, mana masalah perkawinanan yang perlu diatur hukum negara
dan mana yang tidak. Untuk tidak mencederai hak-hak sipil warganegara dalam
wilayah perkawinan yang tak perlu dikelola oleh negara.
Dan inilah
tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat hukum dan aparat
hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum perkawinan yang
menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap
melahirkan keadilan? Kemudian, mampukah pembuat hukum dan aparat hukum
mengharmoniskan perbedaan klausul di berbagai sistem hukum perkawinan terkait
dengan masalah-masalah perkawinan kontemporer?
Merevisi UU No.
1 Tahun 1974 adalah satu alternatif dan tidaklah terlalu ambisius. Namun juga
bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi dan lahirnya legislasi
yang dapat mengakomodasi semua sistem hukum yang hidup tanpa harus mencederai
hak-hak sipil masyarakat dalam wilayah hukum perkawinan.